Romantika Dua Saudara-01
Ini kisah pengalaman aku ketika pertama kali
mengenal seks. Aku seorang wanita saat ini usiaku sudah 25 tahun. Kisah
ini terjadi pada waktu dulu dalam keluargaku yang marginal yang biasa
hidup di pinggiran hutan dari keluarga perambah hutan yang hampir
primitif. Saat itu kami hidup hanya menggantungkan diri pada alam. Aku
punya keluarga berempat orang, ayah, ibu dan satu orang lagi kakakku
laki-laki.
Oh, ya, namaku Munah. Saat itu mungkin usiaku sekitar 7 tahun dan
kakakku, namanya Antan, usianya sudah kira-kira 10 tahun. Kami selalu
membantu orang tua berladang menanam padipadian dan sayuran untuk makan
kami sekeluarga. Kakakku, Antan, kadang-kadang diajak oleh ayah pergi
berburu dan mencari ikan. Kehidupan kami waktu itu begitu primitif
sekali. Kami tidak begitu mengenal dunia luar. Hanya kadang-kadang kami
bertemu pemburu yang tersesat ke ladang kami, itulah cuma kami mengenal
orang luar.
Semua kebutuhan hidup kami dapatkan dari hutan di sekitar kami tinggal.
Pakaian kami gunakan lebih banyak kulit kayu dan daun-daunan tertentu.
Meskipun masih ada juga sisa pakaian dari kain yang didapatkan oleh
ayah dulu ketika dia pergi ke perkampungan. Hutan tersebut memang
berbahaya, ayah dan ibu selalu mengingatkan kami akan bahaya hewan buas
seperti ular, harimau dan juga binatang lainnya.
Kejadian yang sangat menyedihkan bagi kami adalah ketika ibuku
meninggal akibat penyakit yang dideritanya. Kami tidak tahu entah
penyakit apa yang menyerang ibu kami, yang jelas badannya semakin kurus
dan akhirnya meninggal. Kami sangat berduka sekali, seakan tidak tega
rasanya kami menguburkan jasad ibu kami. Sejak itu mulailah kehidupan
kami bertiga. Ayah selalu mengajarkan kami tentang cara bertahan untuk
hidup, terutama sekali kepada kakakku karena dialah yang laki-laki dan
kuat.
Setelah kira-kira setahun sejak itu, terjadi kejadian yang sangat
memukul perasaan kami. Ayahku diserang oleh ular cobra yang berbisa.
Beberapa hari ayah tidak sanggup bergerak ke luar dangau kami dan kami
kebingungan mau mengobatinya. Kami tidak tahu harus diobat pakai apa,
sudah bermacam-macam dedaunan kami tumbuk untuk mengobatinya, namun
tidak berhasil. Akhirnya ayah kami yang kami cintai meninggal dunia.
Kami menangis sejadi-jadinya, kami berangkulan berdua dan dengan
berurai air mata kami meratapi kematian ayah. Tiba-tiba kakakku
tersadar dan bangun dari tangis tersebut. Dia ingat bagaimana dulu
ketika menguburkan ibu. Dia kemudian mulai menggali tanah dan
mengajakku membantunya. Dengan menangis aku tetap menurutinya membantu
menguburkan ayah.
Begitulah yang terjadi. Sejak itu kami mulai hidup berdua dengan
kakakku. Kakak sangat menyayangiku, dia selalu bekerja keras untuk
menopang kehidupan kami. Aku membantunya setiap waktu.
*****
Beberapa tahun kemudian kami masih dapat bertahan hidup dengan
baik. Kami tidak pernah lagi bertemu dengan orang luar. Kakakku tumbuh
menjadi seorang pemuda yang gagah dan aku sudah mulai tumbuh menjadi
seorang gadis. Di gubuk itu kami tidur terpisah, biasanya Kak Antan
tidur dekat pintu sedangkan aku di sudut dekat dapur dengan beralaskan
tikar-tikar yang ada. Kisah ini bermula dari keadaan tubuh kami yang
sudah mulai beranjak dewasa. Kakakku heran dengan pertumbuhan diriku
yang berbeda dari dia. Dia selalu membandingkan perkembangan tubuhnya
dengan tubuhku.
Aku pun saat itu merasakan hal yang sama. Maklumlah kami tidak pernah
lagi melihat orang luar. Pakaian yang kami kenakan cuma alakadarnya dan
kadang-kadang cuma penutup aurat bawah saja, lebih banyak kami memakai
kulit kayu dan dedaunan. Dia heran melihat adanya tonjolan besar di
dadaku sedangkan pada dadanya tidak sebesar itu. Dia tidak tahu bahwa
payudaraku itu sebagai pertanda perkembangan diriku menjadi perempuan.
Menurutnya aku mestilah seperti dia, tidak ada yang bengkak di sana
sini. Dia sering mempertanyakan ini kepadaku.
"Kenapa ya, dada kamu itu bengkak dan besar, sedangkan dada Abang tidak begitu?" tanyanya.
"Kamu mungkin menderita penyakit," begitulah katanya.
Aku juga tidak mengerti tentang hal ini. Aku juga waktu itu belum
tahu kalau itu namanya payudara. Kami banyak kehilangan kosa kata
selain yang pernah diajarkan oleh ibu dan bapak kami. Kami juga tidak
begitu tertarik dengan seks karena jujur tidak tahu. Kami sering juga
melihat monyet di pohon yang bersetubuh, tetapi kami tidak melihat
perbedaan yang nyata antara mereka. Mereka sama-sama monyet dengan
bentuk tubuh yang hampir sama. Kami tidak begitu mengerti tentang
jantan dan betina.
Keheranan kami akan hal ini semakin hari semakin bertambah seiring
membesarnya payudara dan pinggulku. Kemudian ditambah lagi adanya darah
kotor yang keluar dari tempat buang airku setiap bulannya (akhirnya aku
tahu bahwa itu yang namanya darah haid). Kakak selalu khawatir tentang
aku yang katanya kena penyakit seperti ibu dulu. Akh, aku pun merasa
takut juga tentang hal ini. Akhirnya kami bermufakat untuk secepatnya
mencari pengobatan untuk ini. Kata kakak, kami harus pergi mencari
dukun yang bisa mengobati. Kami harus pergi keluar hutan untuk mencari
perkampungan orang dan mencari dukun di sana. Kami tahu bahwa jalan ke
perkampungan itu cukup jauh dan kami belum pernah ke sana.
Namun ketakutan kami akan penyakit tersebut cukup kuat dan kami harus
pergi mencari pengobatannya. Bersepakatlah kami untuk berangkat besok
harinya. Hari ini kami siapkan perbekalan yang dibawa yaitu sedikit
makanan dan sisa pakaian kami yang masih ada. Esok harinya kami mulai
melakukan perjalanan pada pagi hari sekali. Kami arahkan perjalanan
kami ke arah lembah dari hutan perbukitan itu berharap arah tersebut
adalah arah yang benar. Kami terus berjalan melewati hutan-hutan dan
kami menjumpai sungai. Kami mengikuti sungai ke arah hilirnya berharap
rumah perkampungan tidak akan jauh dari sungai. Kami kadang-kadang
menemui kesulitan melalui semaksemak yang padu di sana. Tetapi kakakku
adalah seorang lelaki yang kuat, dia dengan cekatan membantuku melewati
rintangan demi rintangan.
Waktu itu matahari sudah di atas kepala dan artinya sudah tengah hari,
kami berhenti di pinggir sungai dan membuka bungkusan makanan kami.
Kakak segera menangkap ikan di sungai yang kebetulan ikannya banyak
sekali. Kakak dengan cekatan membuat api dengan menggosokkan kayu
dengan kayu. Kami langsung membakar ikan tersebut dan makan dengan
lahapnya. Setelah istirahat sebentar kami pun melanjutkan perjalanan.
Akhirnya sampailah kami ke sungai dengan airnya yang agak tenang dan
dalam. Kakak mendapat akal untuk membuat rakit dari gelondongan kayu
yang ada. Beberapa batang kayu kami ikat dengan akar membentuk rakit
sederhana.
"Dengan rakit ini kita tidak lagi susah berjalan. Pasti di hilir sungai nanti kita akan berjumpa perkampungan," kata kakakku.
Begitulah, setelah rakit siap kami pun menaikinya dan mulai melaju
ke hilir sungai. Kakak bertugas mengemudikan rakit dengan sebatang kayu
galah, sedangkan aku membantu mengayuh dengan kayu. Pendek cerita,
akhirnya kami menemukan sebuah gubuk di pinggir sungai. Kakak segera
menepikan rakit dan kami pun mendarat ke tebing dengan baik. Setelah
kami sampai di darat, kami pun menuju gubuk tersebut. Kami melihat
pintu gubuk tutup dan kami mengitarinya mencari jika ada orang di
sekitar gubuk tersebut. Ternyata di sekeliling gubuk itu tidak ada
orang. Kami pun istirahat sebentar di samping gubuk itu. Setelah
beberapa saat kami mendengar suara batuk seseorang dari dalam gubuk.
Kami terkejut dan seketika tersentak dan berdiri. Oh, ada orang
rupanya.
"Maaf, ada orang di dalam?" tanya kakakku.
Kami dengar suara pintu berdenyit dan kemudian terbuka. Kami
melihat sosok orang tua di depan pintu. Pria tua berjenggot dan
berkumis tebal. Ketika melihat kami dia begitu terkejut dan bertanya:
"Kalian dari mana?"
"Kami dari hutan Pak, kami mau cari tukang obat," jawab kakak.
"Ke sini masuk dulu, kalian harus ganti pakaian," kata Bapak tua itu.
"Tapi, kami tidak punya yang bagus Pak," jawab kami.
"Masuk saja, nanti Bapak yang kasih," katanya lagi.
Kami pun masuk dan disuruh mandi, kemudian kami diberikannya pakaian
seadanya. Rupanya Bapak tua itu telah kehilangan anak mereka dan dia
begitu baik kepada kami. Kami bahkan disuruh menginap di sana, namun
kami menolaknya, karena kami harus mencari dukun. Bapak tua itu hanya
menanyakan siapa yang sakit, namun tidak ditanyakannya apa penyakitku.
Lalu, oleh Bapak tua itu kami dianjurkan untuk terus ke ujung kampung
yaitu rumah yang paling ujung. Di sana katanya ada seseorang yang
selama ini dianggap sebagai dukun di kampung itu.
Kami pun meneruskan perjalanan ke rumah yang dimaksud Bapak tua itu.
Hari sudah mulai senja dan matahari sudah hampir terbenam. Akhirnya
kami pun sampai ke rumah yang dimaksud setelah melewati 3 buah rumah
lainnya. Jarak satu rumah dengan yang lainnya berjauhan. Rumah dukun
tersebut terbuat dari kayu dengan dindingnya dari anyaman rotan dan
atapnya dari daun-daun yang disusun rapi. Pintu rumah dalam keadaan
terbuka dan di dalamnya kelihatan gelap karena sedikitnya cahaya yang
masuk akibat rindangnya pepohonan di sekitar rumah tersebut. Kakak
segera memanggil orang di dalam rumah jika ada. Kami mendengar suara
batuk seseorang dan derap langkah seseorang menuju pintu rumah.
Suara langkah terdengar karena lantai rumah tersebut terbuat dari kayu
dengan tinggi lantai dari tanah kira-kira satu meter. Seorang lelaki
setengah baya muncul dengan hanya memakai kain sarung dan tanpa baju.
Kami dipersilakan untuk masuk ke rumah gubuk tersebut. Kami disuruh
duduk di atas tikar rotan yang sudah terbentang sementara dia terus ke
belakang. Kami memperhatikan gubuk tersebut yang terdiri dari satu buah
bilik yang berdindingkan anyaman bambu, satu ruang dapur dan satu ruang
lapang di tengah.
Ada sebuah meja dari kayu dengan jalinan rotan yang rapi dengan dua
buah kursi rotan. Di sebelahnya ada lagi semacam ranjang dari rotan
yang kelihatannya hanya muat untuk satu orang. Saya pikir ini sebagai
tempat dukun tersebut istirahat siang. Sang dukun muncul dari belakang
dengan memakai baju namun tetap memakai kain sarung. Dia duduk di depan
kami dengan bersila dan mulai melakukan pembicaraan.
"Kalian dari mana sehingga senja begini sampai ke sini?" tanyanya ramah sambil tersenyum.
Tidak ada kesan angker dari nada bicaranya.
"Kami sudah melakukan perjalanan dari tadi pagi dan sampai ke sini
karena ada maksud hati kami yang ingin kami sampaikan," jawab kakak
dengan nada datar.
"O, silakan sampaikan saja," jawabnya lagi.